Dan aku tak tahu butuh berapa tahun untuk melupakanmu seutuhnya.
Mengikhlaskan dan merelakan adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hati ini.
Meski terasa naif, hingga kini, aku tak tahu caranya mengikhlaskan dan merelakan.
Mengikhlaskan dan merelakan adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hati ini.
Meski terasa naif, hingga kini, aku tak tahu caranya mengikhlaskan dan merelakan.
--------------------
Ini cerita tentang aku, selepas kau pergi.
Selepas kau pergi...
Aku mencoba bangkit berulang kali...
Aku mencoba menghindarimu,
menghindarimu baik di dunia maya maupun di dunia nyata tuk menyembuhkan diri ini...
menghindarimu baik di dunia maya maupun di dunia nyata tuk menyembuhkan diri ini...
Namun, nyatanya...
Lagi lagi semua itu tak ada yang berhasil
Lagi lagi aku tetap teringat kepadamu.
Pernah aku mencoba untuk memilih kabur, bukan menghadapinya.
Pernah...
Aku mencoba pergi menjauh,
Aku mencoba menyibukkan diri,
Aku mencoba untuk melakukan banyak hal baru,
Aku mencoba untuk mengikhlaskanmu,
Aku mencoba untuk merelakanmu,
Sampai aku mencoba untuk membencimu.
Sayangnya, semua itu tetap gagal dan kembali lagi teringat akan sosokmu.
Mungkin semua ini terjadi karena aku sudah tak pernah merasakannya dalam jangka waktu yang lama, ya?
Sehingga semuanya terasa sulit.
Berulang kali rasanya aku ingin memperbaiki semuanya,
namun cepat cepat kutepis,
karena aku tak mau jadi “duri”.
Berulang kali juga aku mencoba untuk agar kita kembali baik-baik saja, meski “tak seperti dulu”.
Tapi rasanya semesta memang tak mengizinkan kita lagi, ya?
Rasanya tak ada kesempatan yang semesta beri untuk kita...
Rasanya kau juga tak memberi kesempatan untuk kita menjadi “baik-baik saja”—
karena aku telah berusaha mencobanya waktu itu dan aku rasa hasilnya nihil.
karena aku telah berusaha mencobanya waktu itu dan aku rasa hasilnya nihil.
Waktu itu, berat hati rasanya kuputuskan untuk mencoba.
Perdebatan antara hati dan logika terus bercengkerama.
Namun, kuputuskan kali ini biarkan logika yang jadi pemenangnya.
Berharap akan ada kabar gembira.
Berharap kita kan kembali baik-baik saja.
Namun, hasilnya?
Hasilnya....
Benar-benar tak pernah terlintas di pikiranku kan begitu jadinya.
Atau aku saja yang terlalu egois karena terlalu menyalahkan keadaan dan belum mampu menerima keadaan?
Kadang aku selalu ingin bertanya, bagaimana denganmu akan semua ini?
Apakah kau baik-baik saja?
Apakah kau baik-baik saja?
Masih begitu banyak pertanyaan yang tak ada jawabnya terus menghantui di pikiranku.
Mungkin itu juga yang menjadi alasanku, belum bisa merelakan semuanya.
Seandainya aku bisa menangis sejadi-jadinya—
mungkin bisa membuat hati dan pikiran ini menjadi jauh lebih tenang.
Namun, tak pernah bisa.
Meski rasanya berulang kali aku ingin menangis tuk melampiaskan semuanya.
Tangis terakhirku untukmu...
hanya hari itu, hari kau pergi...
Sekarang aku sudah tak peduli lagi akan tangis yang tak pernah mampu keluar itu.
Apakah ini pertanda aku telah mampu menghadapinya atau aku sudah terlalu sakit?
Percayalah aku akan baik-baik saja—
Meski hingga kini aku sendiri tak tahu kapan aku akan baik-baik saja.
Tak perlu khawatir,
aku tak akan merepotkanmu lagi dan lagi,
aku tak akan mengganggumu lagi dan lagi,
karena aku tak ingin menjadi duri di perjalanan kau, khususnya perjalanan kau dan dia.
Satu hal yang kutahu, setiap selesai aku mengadu kepada-Nya tentang semua ini,
Dia selalu menjawab dan berhasil membuat hatiku lebih tenang meski terkadang hanya sejenak.
Dan aku percaya Dia tahu dan selalu memberikan yang terbaik.
Hingga akhirnya aku mencoba tuk mengalah dan menerima semua keadaan yang akan terjadi.
Sesulit apapun itu...
Sesakit apapun itu...
Sebahagia apapun itu nanti...
Nikmati saja semua rasa yang akan datang menghampiri~
Nikmati saja semua proses ini~
Hingga nanti akhirnya aku akan terbiasa dan kembali seperti sedia kala...
Serta biarkan waktu tuk turut serta menyembuhkan bersama.
Komentar
Posting Komentar