Sepucuk pesan untukmu
Terimakasih pernah datang, lalu menghilang.
Terimakasih pernah ada, lalu tiada.
Terimakasih pernah menghibur, lalu kabur.
Terimakasih pernah meninggikan harap, lalu menjatuhkan.
Terimakasih pernah mendekat, lalu menjauh.
Terimakasih pernah peduli, lalu tak acuh.
Terimakasih.
Akhirnya, ia mulai terbiasa kembali, tenggelam akan suasana yang telah dirancangnya sedemikian rupa. Terbiasa kembali seperti apa yang pernah ia rasakan dahulu. Rasa yang dulu sempat hilang, akhirnya kembali lagi. Ia seolah tak peduli lagi dengan perasaannya sendiri, tak menghiraukan apa lagi yang terjadi.
Terimakasih pernah datang, lalu menghilang.
Terimakasih pernah ada, lalu tiada.
Terimakasih pernah menghibur, lalu kabur.
Terimakasih pernah meninggikan harap, lalu menjatuhkan.
Terimakasih pernah mendekat, lalu menjauh.
Terimakasih pernah peduli, lalu tak acuh.
Terimakasih.
Akhirnya, ia mulai terbiasa kembali, tenggelam akan suasana yang telah dirancangnya sedemikian rupa. Terbiasa kembali seperti apa yang pernah ia rasakan dahulu. Rasa yang dulu sempat hilang, akhirnya kembali lagi. Ia seolah tak peduli lagi dengan perasaannya sendiri, tak menghiraukan apa lagi yang terjadi.
Mungkinkah ia telah sampai pada titik lelahnya? Titik akhir perjuangannya, batas akhir kesabarannya. Terlalu sering dikecewakan, mungkin? Bertingkah laku peduli, namun pada akhirnya seolah diabaikan. Hingga akhirnya, ia kembali seperti dahulu, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi, terutama dengan perasaannya sendiri...
Ia berbohong akan hatinya sendiri. Mencoba mengingkari bahwa hatinya masih sakit akan luka yang dibuat secara perlahan dan tak terlihat, namun sangat menyakitkan dan mendalam. Ia tak tahu lagi akan berbuat apa, tak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Ia seolah bersaing dengan sesuatu yang maya, yang tak nyata.
Pada akhirnya, ia seolah mulai menyerah, mencoba mengabaikan segalanya, tak peduli, meski sesungguhnya dari hati terdalam ia masih amat peduli dan masih berharap akan sebuah kepastian. Ia memilih untuk menyibukkan diri, menenggelamkan dirinya pada banyak kesibukan. Tenggelam dengan berbagai aktivitasnya. Agar tak ada waktu yang terbuang sia-sia demi memikirkan perasaannya lagi. Kini api yang membara di hatinya seolah telah padam, cahaya yang dulu menjadi penerangannya seolah turut meredup. Seolah bertingkah tak mau lagi peduli dengan individu lain. Terdengar individualisme dan sadis, bukan? Ya. ia memilih seperti itu demi membohongi dirinya sendiri seolah ia terlihat 'baik-baik saja'. Jangankan orang lain, perasaannya sendiri rela ia bohongi. Tak ingin mengakui bahwa sesungguhnya ia masih 'sakit', belum 'pulih sepenuhnya'.
Ia memilih untuk selalu tetap di sana, tidak keluar dari zona nyamannya, memilih untuk tak peduli dengan yang lain dengan alasan agar ia tak merasakan sakit kembali. Di dalam zona nyamannya, ia tak perlu memikirkan orang, tak perlu memperdulikan orang lain. Cukup memikirkan diri sendiri. Tak lebih. Pengecut bukan tak mau keluar dari zona nyaman diri sendiri? Tapi, apa boleh buat, ia sudah dikatakan lebih dari cukup untuk berbuat peduli namun lagi-lagi diabaikan. Bukan hanya untuk seseorang, namun sudah banyak orang.
Sebenernya post ini udah ada di draf dari Bulan Oktober kemarin, tapi karena ga sempet untuk publish-nya, alhasil baru bisa di Bulan Desember:'
Happy reading!:)
Komentar
Posting Komentar