Pada akhirnya, sebuah permulaan pasti akan sampai pada titik akhirnya. Mungkinkah ini titik akhir tersebut? Akhir dari sebuah permulaan yang terasa terlalu begitu cepat....
Tak pernah terbayangkan bahwa akan secepat ini semua keadaan berubah, berubah secara drastis, seperti 180° derajat. Seolah mengakhiri itu semudah membalikkan telapak tangan, tanpa pernah tahu dan memikirkan bekas luka yang ditinggalkan.
Luka yang membekas seolah sudah terlalu dalam menyayat hati. Air mata yang mengalir seolah sudah tak mampu lagi untuk dibendung, mengalir dengan sendirinya hingga akhirnya seolah tak ada lagi yang bisa menetes. Hati dan pikiran yang seolah sudah terlalu lelah untuk saling berdebat di dalam diri masing-masing. Perasaan dan logika.
Kau yang dulu selalu terselip dalam doa-doaku, kau yang dulu menjadi penyemangat hari-hariku, kau yang dulu menjadi pewarna hari-hariku, kau yang selalu menjadi alasan bagi mata ini untuk selalu mencari keberadaanmu di tengah keramaian, kau yang bisa membuat diri ini bangkit di tengah kesedihan, kau yang mengajarkanku untuk lebih dewasa, kau yang tak pernah lelah untuk bertahan dan berjuang, kau yang selalu berusaha, hingga akhirnya kau jugalah yang membuatku menyadari betapa pentingnya arti seseorang dalam kehidupan.
Namun, semua sudah berubah, sudah tak sama lagi seperti dahulu. Seperti tak ada lagi yang perlu dipertanyakan, tak ada lagi yang perlu dipertahankan, tak ada lagi yang perlu diperjuangkan...
Seolah sudah pasrah akan kenyataan yang ada. Seolah sudah terlalu lelah untuk memperjuangkan dan mempertahankannya lagi. Seolah memang sudah cukup berakhir di sini.
Kau yang kini sudah menemukan 'dia'. 'Dia' yang kuharap jauh lebih baik daripadaku, dia yang jauh lebih membuatmu nyaman, dia yang nantinya akan jauh lebih menyayangimu. 'Dia' yang hingga saat ini belum aku ketahui kebenarannya. 'Dia' yang terkadang kau bilang tak ada, namun terkadang kau bilang ada. Hingga akhirnya membuatku terlalu bingung untuk menentukan kebenaran. Di saat hati ini sudah mulai percaya dan bahagia bahwa 'dia' tidak ada, namun di saat itulah juga kau seolah tiba-tiba menjatuhkanku yang sedang terbang bebas dengan mengatakan fakta yang ada, bahwa 'dia' ada, seolah dengan cepat kembali merenggut rasa bahagia yang baru muncul sesaat itu. Hingga membuatku tak tahu berkata apa-apa, tak mampu berpikir, dan memilih untuk mundur.
Memilih untuk mundur. Memilih untuk berhenti menggantungkan perasaan yang masih berharap. Memilih untuk melawan perasaan yang memberontak. Memilih untuk bungkam. Hingga pikiran dan perasaan kembali berdebat dalam diri sendiri. Tak mampu berbuat apa-apa. Tangis? Ya, terlalu cengeng memang.
Namun, aku sadar. Jika ada yang perlu disalahkan, maka akulah orang yang tepat. Aku yang terlalu egois, tak pernah merasakan perasaan orang lain, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi. Aku yang memintamu untuk selalu tinggal namun aku juga yang seolah tak pernah menghargai usaha-usahamu. Mungkin kau sudah terlalu lelah dari sekian waktu yang lama, namun aku selalu seolah menahanmu, hingga akhirnya kau tak jadi pergi lagi, seolah kasihan melihat diri yang egois ini.
Kini akhirnya, jika memang ini merupakan akhir dari segalanya, kan kucoba untuk mengikhlaskan, walau dengan berat hati. Perasaan dan pikiran yang tak pernah sejalan. Perasaan yang selalu meminta untuk tetap mempertahankan, namun pikiran yang seolah turut meminta untuk mengikhlaskan walau berat hati. Bukan fisik yang terluka, tapi batin yang tersiksa. Kini kupasrahkan semuanya.
Memulai suatu yang baru? Sepertinya tidak. Aku terlalu takut untuk memulainya kembali. Takut jika suatu taat kembali terlanjur nyaman dan pada akhirnya harus berakhir lagi? Terlalu takut akan menghadapi itu. Serta terlalu lelah untuk memulai sesuatu yang baru kembali.
"Aku tak pernah menghapus kenangan, yang kulakukan hanyalah berusaha tanpamu dan menahan tangis."
Komentar
Posting Komentar