Izinkan aku pergi jika memang itu yang terbaik.
Jika memang jalan terbaik adalah pergi. Lalu, untuk apa menghalangiku untuk pergi?
Semua pasti akan berubah seiring dengan waktu. Tawa dan canda memiliki waktunya sendiri untuk berubah menjadi tangis dan air mata. Begitu sebaliknya, tangis dan air mata tentu memiliki waktunya sendiri untuk berubah menjadi tawa dan canda. Waktu terus berputar layaknya bumi yang sedang berputar pada porosnya. Kehidupan terkadang berada di bawah, terkadang berada di atas.
Pergi. 1 kata yang mudah diucapkan. Ikhlas. 1 kata yang sulit untuk dilakukan. Susah untuk mengikhlaskan sesuatu yang pergi jika memang masih patut untuk dipertahankan. Tapi, jika memang pergi adalah jalan terbaik? Mau tidak mau, ikhlas harus turut mengiringi kepergiannya. Walau dari hati yang terdalam terasa sulit untuk mengikhlaskan, terasa menolak untuk melepaskan, terasa sakit untuk dirasakan.
Terkadang emosi dan egoisme sesaat yang mengendalikan semuanya, yang membuat pikiran berpikir berlawanan dengan kata hati sehingga mulut terucap kalimat yang seharusnya tak diucapkan untuk melepaskan. Namun, jika memang emosi dan egoisme selalu mengendalikan diri.
Lalu, bukankah pergi merupakan jalan yang terbaik?
Keluh kesah serta kecemasan yang terkadang tersimpan di dalam masing-masing pikiranlah yang menjadi awal permasalahan. Sulit untuk dikatakan serta dikomunikasikan. Hingga akhirnya diri kehilangan kendalinya untuk bersabar akibat terlalu sering menyembunyikan. Terkadang lupa akan keluh kesah itu akibat satu sama lain tak saling menyadari apa yang sebenernya diinginkan. Keluh kesah itu disimpan di dalam hati dan dibiarkan seolah sengaja untuk semakin membuat sakit yang mendalam di hati secara bertahap hingga akhirnya hati itu akan mati. Seolah menganggap tak ada permasalahan, karena takut untuk saling mengungkapkan. Hingga emosi dan egoisme mengendalikan diri lagi saat terjadi konflik sepele.
Bukankah dengan pergi semuanya menjadi lebih baik?
Lalu, mengapa masih dihalangi? Mencoba untuk bertahan meski hati terkadang merasakan sakit yang mendalam. Mencoba menggantungkan harapan setinggi mungkin meski telah mengetahui bahwa akan ada resiko jatuh dengan rasa sangat sakit yang mendalam. Rasa kecewa yang mendalam. Terkadang, mengalihkan dan mencari pelampiasan menjadi pilihan terbaik untuk menyelesaikan sebuah masalah. Bukankah, hal itu semakin memperburuk kondisi?
Sebuah kepercayaan yang besar dapat hilang sekejap akibat sebuah kebohongan kecil. Niat awal yang ingin mencoba menyegarkan suasana dengan kebohongan lalu semakin memperkeruh sebuah masalah. Lalu, mengapa tidak berkata jujur? Kejujuran yang menyakitkan jauh lebih baik daripada kebohongan yang membahagiakan.
Sebuah harapan yang digantungkan setinggi mungkin. Berharap suatu hari harapan itu akan berubah menjadi kenyataan. Ntah kapan 'suatu hari' itu, atau mungkin 'suatu hari' itu hanya menjadi angan-angan belaka. Tak pernah berubah menjadi kenyataan. Hingga rasa kecewa dan sakit yang mendalam ikut hilang terbawa dengan waktu yang terus berjalan tanpa henti.
Lelah akan menunggu. Lelah akan mencoba untuk bertahan. Lelah akan berharap. Hal ini akan membuat semua seolah-olah terasa baik-baik saja. Meski kata hati mengatakan "tidak, semua tidak baik-baik saja". Hingga akhirnya sampailah di suatu titik rendah, bosan. Bosan akan semua yang terjadi seolah-olah begitu saja tanpa membawa sebuah cahaya penerangan akan kegelapan yang telah terjadi begitu lama. Hingga rasa saling menghargai dan mengerti juga ikut terbawa menghilang.
Pergi dan bertahan memiliki persamaan yang mendalam, sama-sama sakit tuk dirasakan. Terkadang 'berpura-pura' bertahan menjadi sebuah alasan yang baik untuk tidak melepaskan, karena hati belum mampu untuk mengikhlaskan. Namun, terkadang hati yang 'berpura-pura' untuk mengikhlaskan kepergiannya jauh lebih merasakan sakit yang mendalam. Berpura-pura untuk melihatnya bahagia dengan pilihannya, meski terkadang sangat sakit untuk dirasakan. Namun, jika memang lebih baik mengikhlaskannya meski hati terasa sakit lalu apa salahnya untuk mencoba mengikhlaskan? Walau kuyakin butuh waktu yang lama untuk menghilangkan kepedihan yang tergores di hati. Meski kau akan melihatku tersenyum di depanmu, tanpa tahu dibalik senyumku berisi kepedihan yang mendalam.
Sikap yang membingungkan seolah turut serta mewarnai kehidupan ini. Terkadang kau seolah-olah sedang memberikan kebahagiaan yang mendalam. Di lain sisi, kau dapat berubah seolah-olah memberikan kepedihan yang mendalam. Hingga aku juga takut dan ragu untuk bertahan. Tak ada sedikitpun usaha darimu untuk meyakinkan. Bukti bukan janji. Sikap yang membingungkan semakin memperkeruhnya saja. Semakin membuat keraguan menjadi-jadi. Hingga pada akhirnya terlintas pikiran 'bukankah aku hanya bertahan sendirian?'. Mungkin, memang itu caramu. Mungkin caramu mempertahankan dengan cara begitu. Namun, jika memang kau sedang tidak mempertahankan dan aku telah terlalu berharap, bukankah lebih baik aku pergi?
Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan. Tak banyak yang bisa kukatakan dan kulakukan, seolah aku hanya sedang mengikuti waktu yang terus berjalan tanpa mengetahui akan waktu yang tepat untuk kapan aku pergi. Seolah semua yang terjadi, hanya membuat mengulur waktu 'kepergian' itu menjadi semakin lama. Bukan waktu untuk saling dapat mewujudkan harapan yang telah digantungkan setinggi mungkin agar menjadi sebuah kenyataan yang membahagiakan.
Inilah aku, yang tak bisa mengungkapkan secara langsung apa yang kurasakan. Hanya mampu mengungkapkannya di depan hadapan-Nya dan Dia-lah yang Maha Mengetahui. Berharap Dia akan turut menjawab akan sebuah ketidakpastian ini. Berharap di akhir, Dia akan memberikan yang terbaik bagi semua, bukan hanya untuk diriku saja. Berharap kau akan mendapatkan yang terbaik.
"Kelak kau akan merindukanku sebagai sesuatu yang tak pernah kau temui pada yang lain" - Anonim.
So, do you need me to stay or leave?
Komentar
Posting Komentar